Notification

×

Di Balik Status Singkat, Tersingkap Retak dalam Kubu Elite Kekuasaan

Rabu, September 17, 2025 | 11:57 WIB Last Updated 2025-09-17T05:12:41Z

CIREBON RAYA | JAKARTA — Drama politik dalam lingkaran elite kian menyeruak. Kali ini bukan dari panggung resmi, melainkan dari sebuah status media sosial yang ditulis oleh orang dekat, adik kandung sekaligus tangan kanan.

Status itu langsung jadi bahan bisik-bisik politik. Ia menyinggung soal cara mengelola kekuasaan yang dianggap terlalu emosional dan minim strategi. Sebuah kalimat yang, jika dibaca jeli, seakan menyimpan nada kecewa sekaligus peringatan “akan ada penyesalan setelahnya.”

Bagi publik, status ini tidak sekadar ocehan pribadi. Ia terbaca sebagai potret retak kecil yang mulai terlihat di lingkaran elite. Sebab, sejumlah peristiwa sebelumnya ikut memperkuat tafsir tersebut, mulai dari Bapak yang datang ke rumah mantan presiden, penangkapan seorang ketua relawan garis keras, pemberian penghargaan politik yang justru menuai respon dingin, hingga tuduhan terhadap rekan bisnis sebagai dalang kerusuhan. Rangkaian itu berpuncak pada langkah mengejutkan sang putri yang memilih mundur dari kursi DPR. Semua peristiwa itu menjadi latar yang membuat status singkat tersebut terasa sarat makna.

Namun, seperti biasa, publik hanya bisa menafsirkan dari serpihan tanda. Tidak ada pernyataan. Di sinilah masalahnya, transparansi elite politik kerap digantikan oleh bisikan, status samar, dan simbol-simbol yang memancing tafsir.

Pengamat politik dan hukum, Fredi Moses Ulemlem, menilai status tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk memahami dinamika internal di lingkaran elite.

"Status singkat ini bukan sekadar ekspresi pribadi. Ia mencerminkan adanya gesekan struktural. Dalam politik oligarki, sering kali konflik internal tidak diumbar terbuka, melainkan dikodekan lewat simbol-simbol semacam ini. Yang perlu dicatat, retakan kecil semacam ini bisa membesar jika tidak dikelola dengan komunikasi yang solid," ujar Fredi, pada Rabu (17/9).

Menurutnya, gesekan dalam lingkaran elite adalah konsekuensi dari adanya tarik-menarik antara kepentingan keluarga, jaringan bisnis, dan loyalitas relawan.

"Jika dibiarkan, ini bisa berdampak ke arah konsolidasi politik di tingkat nasional, terutama menjelang momentum besar seperti pemilu atau perombakan kabinet," tambahnya.

Dalam kajian politik modern, retakan di lingkaran kekuasaan sering dijelaskan dengan konsep oligarki sebagaimana dikemukakan Jeffrey Winters. 

Oligarki melihat kekuasaan tidak pernah monolitik, melainkan selalu berisi kelompok-kelompok kaya dan berpengaruh yang bersaing mempertahankan sumber daya. Retakan kecil, seperti status singkat ini, bisa dibaca sebagai tanda awal pergeseran keseimbangan oligarki.

Dari perspektif komunikasi politik, status singkat di media sosial berfungsi sebagai kode politik (political signaling). Menurut teori simbolik Clifford Geertz, elite kerap menggunakan tanda, bahasa kiasan, atau simbol untuk menghindari konfrontasi terbuka. Dengan begitu, publik dipaksa membaca antara kalimat demi kalimat dan di situlah lahir tafsir politik.

Sementara dalam kajian teori konflik elite ala Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, perubahan dalam tubuh elite biasanya muncul ketika ada ketidakpuasan di antara "circulating elites" atau generasi elite baru yang merasa dikesampingkan. Mundurnya seorang anggota keluarga dari panggung legislatif bisa dilihat sebagai ekspresi nyata dari dinamika circulation of elites ini.

Dengan demikian, apa yang tampak sekadar status pendek sebenarnya adalah fragmen dari ketegangan struktural dalam tubuh kekuasaan. Ia bisa menjadi alarm dini bahwa konsolidasi di lingkaran elite belum tentu sekuat yang terlihat di permukaan.

Bagi rakyat, persoalan siapa kecewa dan siapa menyesal di lingkaran elite mungkin terasa jauh. Tapi status kecil ini menyibak satu hal penting, bahkan di antara para penguasa, perebutan arah dan kendali tidak pernah benar-benar selesai.(sa/by)