JAKARTA (CIREBON RAYA) — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kinerja APBN di Oktober 2023 mengalami defisit sebesar Rp700 miliar. Hal ini mengakhiri tren surplus yang sudah terjadi semenjak awal tahun ini.
“Dengan posisi ini maka postur APBN sudah mulai defisit sebesar Rp700 miliar atau 0,003 persen dari GDP,” ungkap Menkeu Sri dalam telekonferensi pers “APBN Kita” pada Jumat (24/11),
Defisit APBN ini mencerminkan pendapatan negara yang lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah. Ia menjelaskan bahwa pendapatan negara yang terdiri dari pajak, bea cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp2.240,1 triliun. Ini artinya, sebanyak 90,9 persen dari target sudah tercapai dan naik 2,8 persen dari tahun lalu.
Terkait belanja negara sampai dengan Oktober 2023, sudah mencapai Rp2.240,8 triliun, yang mana angka tersebut baru terealisasi 73,2 persen dari total pagu anggaran yang ada dalam UU APBN. Total belanja negara ini, katanya, juga turun 4,7 persen pada periode yang sama pada tahun lalu.
Kinerja APBN kali ini, kata Sri Mulyani, dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal yang perlu diwaspadai. Secara global, perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian seperti volatilitas dari sektor keuangan negara-negara maju pada September-Oktober, salah satunya kenaikan suku bunga di Amerika serikat. Hal ini menyebabkan capital outflow dan menciptakan tekanan terhadap nilai tukar ke berbagai negara dimana indeks dari USD menguat dan menimbulkan implikasi ke seluruh dunia.
Di sisi lain, situasi pelemahan perekonomian di China diperkirakan terjadi dalam jangka waktu menengah panjang yang dipengaruhi oleh faktor struktural seperti aging dan masalah sektor properti.
Sementara di kawasan Eropa sendiri, kata Sri Mulyani, perekonomiannya masih terdampak oleh perang Rusia-Ukraina, dan inflasi tinggi yang menyebabkan kenaikan suku bunga sehingga akhirnya beberapa negara seperti Jerman dan Inggris mengalami resesi.
“Sehingga ini adalah situasi global yang masih mewarnai hingga akhir tahun. Secara non-ekonomi geopolitik menjadi dominan. Sekarang dengan adanya tidak hanya dengan perang di Ukraina, tapi juga di Timur Tengah yang akan berpotensi menimbulkan distorsi maupun dampak yang lain. Climate change serta geopolitik, ini akan menjadi dua hal yang akan sangat mewarnai selain masalah dari teknologi digital,” tambahnya.
Maka dari itu, perekonomian global diperkirakan masih akan melemah. Hal tersebut ditandai dengan revisi terhadap outlook perekonomian global tahun depan yang diramalkan akan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun ini, yakni 2,9 persen dari sebelumnya 3,0 persen tahun ini menurut IMF.
Sementara di dalam negeri sendiri, diperkirakan ekonomi masih akan tumbuh di level lima persen pada tahun ini. Angka tersebut, kata Sri merupakan yang paling tinggi di antara negara-negara di ASEAN dan G20.
Meski begitu, beberapa adapun faktor domestik yang turut mempengaruhi kinerja APBN yakni harga komoditas unggulan Indonesia yang mengalami koreksi yang cukup dalam seperti batu bara yang terkoreksi 70 persen dan CPO sepuluh persen. Komoditas pangan seperti beras juga turut menyumbang inflasi karena produksi yang turun akibat pengaruh dari El-Nino.
“Inflasi di Indonesia dalam hal ini meskipun administrative price mengalami penurunan, namun volatile food sudah mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan Juli, yaitu 5,5 persen. Dan ini disebabkan karena komoditas seperti beras, cabai dan gula pasir mengalami kenaikan terutama pada September-Oktober. Meskipun demikian inflasi Indonesia masih relatif dalam posisi inflasinya rendah dibandingkan negara-negara maju maupun secara global,” jelasnya.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan defisit APBN pertama di 2023 ini disebabkan kombinasi antara faktor internal dan eksternal. Dari faktor global, kata Bhima paling berdampak pada penerimaan pajak yang tentunya berkurang karena harga komoditas yang turun cukup signifikan.
“PNPB juga pasti akan berpengaruh karena ternyata bulan-bulan terakhir sebelum tutup tahun, harga beberapa komoditas ekspor unggulan yang biasa menyumbang PNBP dan pajak ekspor dalam jumlah yang besar itu sudah mengalami penurunan. Minyak turun, batu bara, nikel juga turun, CPO juga terkoreksi. Itu pastinya akan menjadi tantangan yang berat sampai akhir tahun," katanya.
"Kemudian kedua, berkaitan dengan kinerja dari domestik. Ada tren konsumsi rumah tangga yang awalnya diharapkan akan pulih, dibandingkan 2022, ternyata sekarang kalau kita cermati dari sisi beberapa retail itu mengalami tekanan pelemahan. Mungkin salah satunya juga efek dari pemilu, jadi belanja masyarakat menengah atas ditunda,” kata Bhima.
Selain itu, beberapa hal yang mempengaruhi postur APBN yaitu belanja pemerintah yang siklusnya selalu digenjot pada akhir tahun seperti berbagai insentif pajak, perlindungan sosial dan belanja infrastruktur. Ia pun memperkirakan defisit pada tahun ini akan berkisar di 1,5-2 persen.
“Tapi kalau defisit sudah mulai naik, polanya mungkin 2024 target defisitnya bisa lebih tinggi, karena banyak sekali ketidakpastian dan arah dari belanja subsidi energi biasanya di tahun pemilu pasti akan dinaikkan signifikan untuk menjaga stabilitas saat pemilu,” jelasnya.
Lalu bagaimana dampaknya apabila defisit APBN semakin melebar? Menurutnya, pemerintah akan mencari pinjaman baru yang mana sebenarnya hal tersebut merupakan langkah yang tidak baik. Ketika beban utang terus bertambah, maka tidak bagus bagi ruang fiskal ke depannya.
“Itu yang konsekuensi yang paling dikhawatirkan dan nanti siapa yang bayar utang? Ini ekspektasi dari penerimaan pajak yang akan digenjot baik intensifikasi maupun ekstensifikasi juga akan meningkat. Itu yang dirasakan bagi masyarakat, pelaku usaha, kalau defisit melebar berarti pajaknya siap-siap naik,” katanya.
Untuk meminimalisir dampak tersebut, pemerintah, kata Bhima. harus memilah-milah belanja dengan seksama. Mana saja belanja pemerintah yang bisa berdampak langsung bagi masyarakat, itulah belanja yang harus didahulukan.
Bhima melihat ekonomi pada tahun ini masih bisa tumbuh di lima persen. Namun, untuk bisa mencapai lima persen di tahun depan yang menurutnya akan cukup sulit. [voa]