Notification

×

Dr.H Sutrisno Sh.M.Hum Ingatkan Bahaya Dewan Advokat Nasional dalam Revisi UU Advokat 2026

Rabu, September 24, 2025 | 11:46 WIB Last Updated 2025-09-24T04:46:24Z

CIREBON RAYA | JAKARTA — Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam pembaruan hukum profesi advokat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang telah berlaku selama 22 tahun, kini resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 untuk direvisi. Namun, rencana revisi tersebut menuai kritik keras dari kalangan advokat.

Dr. H. Sutrisno, SH., M.Hum., Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), menilai revisi UU Advokat justru berpotensi memperburuk kondisi dunia advokat. Pasalnya, dalam draf pembahasan muncul wacana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN).

"Revisi UU Advokat menurut saya justru bisa menambah rusaknya dunia profesi advokat, karena akan dibentuk Dewan Advokat Nasional (DAN). Padahal mayoritas negara di luar negeri menganut prinsip single bar, bukan multi bar," tegas Sutrisno dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Menurut Sutrisno, keberadaan single bar menjadi standar internasional dalam menjaga akuntabilitas advokat. Sebaliknya, sistem multi bar yang memberi ruang bagi banyak organisasi justru melemahkan pengawasan etik.

Ia mengingatkan bahwa banyaknya Organisasi Advokat (OA) di Indonesia saat ini bermula dari Surat Ketua Mahkamah Agung No. 073 Tahun 2015 (SKMA 073/2015). Surat ini, kata Sutrisno, menjadi dasar lahirnya berbagai organisasi advokat baru.

"SKMA 073/2015 justru bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Akibatnya, organisasi advokat jadi terpecah-pecah, dan advokat yang melanggar kode etik bisa dengan mudah pindah organisasi tanpa sanksi yang jelas,” kritiknya.

Sutrisno menekankan, dengan semakin banyaknya OA, kualitas pengawasan profesi makin lemah. Hal ini berimplikasi langsung pada masyarakat pencari keadilan.

"Jika revisi UU Advokat dipaksakan dengan model Dewan Advokat Nasional yang cenderung multi bar, maka advokat yang nakal akan makin sulit dikontrol. Pada akhirnya, masyarakat yang mencari keadilanlah yang paling dirugikan," jelasnya.

Meski mengkritisi wacana Dewan Advokat Nasional, Sutrisno tetap menegaskan pentingnya revisi UU Advokat sebagai momentum reformasi profesi hukum. 

Ia mendorong agar pembuat undang-undang konsisten pada prinsip single bar sebagaimana semangat awal UU Advokat 2003.

"Kita butuh revisi untuk memperkuat profesi, bukan merusaknya. Single bar adalah jalan keluar agar advokat bekerja profesional, kode etik ditegakkan, dan masyarakat benar-benar terlindungi," pungkasnya.(sa/by)