CIREBON RAYA | BREBES — Transparansi pejabat publik bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan ukuran moral dan integritas penyelenggara negara. Namun, data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik salah satu pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Brebes menampilkan kejanggalan yang signifikan, terjadi penurunan harta hingga Rp 1,1 miliar lebih hanya dalam waktu satu tahun, tanpa keterangan terbuka kepada publik.
Publik pun bertanya-tanya: ke mana perginya miliaran rupiah itu?
Apakah dijual, dihibahkan, atau berpindah kepemilikan ke pihak lain?
Penurunan Drastis dalam Setahun
Penelusuran dokumen resmi di situs e-LHKPN KPK menunjukkan total harta pejabat tersebut pada tahun 2022 tercatat sebesar Rp 3,05 miliar. Setahun kemudian, pada laporan tahun 2023, kekayaan turun menjadi Rp 1,91 miliar, atau berkurang sekitar Rp 1,13 miliar (37,2 persen).
Pada 2024, nilainya kembali turun menjadi Rp 1,79 miliar, turun sekitar Rp 118 juta (6,2 persen) dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan lebih dari sepertiga total kekayaan dalam kurun waktu singkat seperti ini dianggap tidak wajar untuk posisi pejabat struktural daerah yang memiliki penghasilan tetap dan tunjangan rutin.
Ketidak-wajaran Nilai Aset
Laporan per tahun menunjukkan sejumlah perubahan nilai yang tidak konsisten.
Nilai aset tanah dan bangunan, misalnya, berubah drastis dari sekitar Rp 2,08 miliar (2022) menjadi Rp 1,0 miliar (2023), lalu meningkat lagi menjadi Rp 1,5 miliar (2024).
Perubahan tajam ini menimbulkan pertanyaan: apakah sebagian aset dijual, dihibahkan, atau dipindah atas nama keluarga?
Di sisi lain, sejumlah item tercatat sebagai “warisan” atau “hibah” pada satu tahun, namun tidak lagi muncul di tahun berikutnya. Dalam administrasi pelaporan harta, perubahan semacam itu seharusnya disertai bukti pendukung berupa akta jual beli, akta hibah, atau surat waris yang sah.
Selain itu, laporan menunjukkan penurunan bertahap pada kas atau uang tunai: dari Rp 92 juta (2022) menjadi Rp 48 juta (2023), dan tinggal Rp 19 juta (2024).
Fluktuasi kas memang lumrah, tetapi jika penurunan terjadi bersamaan dengan hilangnya aset besar, hal ini layak diklarifikasi lebih jauh.
Perubahan Jabatan Tak Jelaskan Penurunan
Pejabat tersebut diketahui berganti posisi dari Kepala Bidang di Dinas Pendidikan pada 2022 menjadi Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup pada 2023–2024.
Namun, perubahan jabatan tersebut tidak serta-merta menjelaskan hilangnya aset hingga miliaran rupiah. Gaji dan tunjangan pejabat struktural di level itu relatif stabil, tidak mengalami lonjakan atau penurunan ekstrem.
“Kami Tak Tuduh, Tapi Fakta Ini Tak Boleh Dibiarkan Diam”
Ketua Rumah Rakyat Indonesia Sejahtera, Anom Panuluh, meminta aparat penegak hukum (APH) dan lembaga pengawas untuk memeriksa kejanggalan ini.
"Kami tidak menuduh siapa pun. Tapi ketika uang rakyat dikelola oleh pejabat publik, transparansi menjadi kewajiban moral dan hukum. Penurunan miliaran rupiah tanpa penjelasan harus diuji — apakah itu penjualan sah, hibah, atau pemindahan kepemilikan yang tidak dilaporkan," ujar Anom, saat ditemui di Brebes, pada Rabu (8/10).
Anom menegaskan bahwa publik berhak tahu karena pejabat menggunakan fasilitas dan pendapatan yang bersumber dari pajak rakyat.
"KPK, Inspektorat, dan aparat hukum harus turun memverifikasi. Jangan biarkan ruang gelap ini menimbulkan kecurigaan publik," tegasnya.
Mengapa Ini Penting
Penurunan besar dalam laporan kekayaan pejabat publik bisa mengindikasikan dua hal: adanya transaksi sah yang belum dijelaskan, atau upaya menyamarkan aset melalui mekanisme pemindahan nama.
Keduanya perlu diverifikasi agar kepercayaan publik terhadap laporan LHKPN tidak runtuh.
"Modus baru mungkin bukan menambah kekayaan, tapi menurunkannya secara taktis agar terlihat bersih," kata Anom.
Nilai Rp 1,1 miliar yang hilang, lanjutnya, setara dengan biaya pembangunan satu sekolah dasar atau perumahan bagi puluhan keluarga miskin. Karena itu, transparansi dan audit ulang menjadi kebutuhan mendesak.
Seruan untuk Pemeriksaan Ulang
Rumah Rakyat Indonesia Sejahtera menyerukan agar KPK dan Inspektorat Brebes melakukan pemeriksaan ulang terhadap LHKPN pejabat tersebut selama tiga tahun terakhir.
Selain itu, publik perlu menuntut agar dokumen pendukung seperti akta jual beli, akta hibah, dan rekening koran dibuka untuk memastikan seluruh perubahan tercatat sah.
"Jangan tunggu skandal ini membusuk. Jika penurunan itu sah, tunjukkan buktinya. Tapi bila ada manipulasi, hukum harus bicara. Rakyat Brebes pantas mendapatkan pejabat yang jujur dan transparan," tegas Anom.
Ujian Integritas
Kasus ini menjadi pengingat bahwa laporan kekayaan bukan sekadar angka, melainkan refleksi integritas pejabat publik. Masyarakat Brebes, yang selama ini berharap pada tata kelola pemerintahan yang bersih, berhak atas kejelasan dan kejujuran.
Kini, publik menunggu langkah tegas aparat hukum: Apakah data ini akan diam di meja birokrasi, atau menjadi pintu masuk penegakan integritas yang sesungguhnya? (*)